Mitos Tentang Menjadi Penulis yang Harus Kamu Ketahui
![]() |
| Photo by Todoran Bogdan by Pexels |
Banyak calon penulis menyerah bahkan sebelum mulai menulis. Bukan karena mereka tak mampu, tapi karena percaya mitos yang salah tentang dunia kepenulisan.
Mitos ini terdengar meyakinkan, apalagi kalau disampaikan orang yang kita anggap “lebih tahu.” Padahal kalau ditelusuri, sebagian besar hanyalah prasangka, cerita lama yang diwariskan, atau sekadar alasan untuk tidak mencoba.
Kalau kamu selama ini sering merasa terhalang untuk menulis, mungkin salah satu dari mitos berikut sedang memengaruhimu. Mari kita bongkar satu per satu.
Harus Nunggu Inspirasi Dulu Baru Bisa Nulis
Bayangkan seseorang duduk di depan laptop, menatap layar kosong, lalu berkata, “Aku lagi nggak ada ide. Tunggu besok aja.” Besok datang, tapi ide belum juga hadir. Minggu berganti bulan, naskahnya tetap kosong.
Banyak calon penulis berhenti di fase ini. Mereka pikir inspirasi itu seperti tamu agung yang datang membawa kado ide. Kalau tamu itu tak datang, mereka merasa tak bisa menulis. Baca Cara Mengalahkan Writer's Block.
Faktanya: inspirasi memang menyenangkan, tapi bukan syarat utama menulis. Penulis besar justru terbiasa menulis meski sedang tidak mood. Stephen King, misalnya, menulis setiap hari—bahkan di hari libur—dengan target minimal 2.000 kata. Ia tidak menunggu “mood bagus” karena kalau begitu, satu buku mungkin akan selesai bertahun-tahun lebih lama.
Cara Melawan Mitos Ini
- Buat jadwal menulis tetap, meskipun sebentar (misalnya 30 menit per hari).
- Anggap menulis seperti olahraga: pemanasan dulu, baru semangat muncul.
- Gunakan writing prompt (tantangan menulis singkat) untuk memancing ide.
Inspirasi sering datang ketika kamu sedang menulis, bukan saat duduk menunggu. Jadi, jangan jadikan “belum ada ide” sebagai alasan berhenti.
Penulis Itu Terlahir dengan Bakat
Ada orang yang percaya, penulis hebat lahir dengan pena di tangannya. Kalau dari kecil tidak pandai menulis, ya sudah, jangan bermimpi jadi penulis.
Ini salah besar.
Faktanya: menulis adalah keterampilan, bukan warisan genetik. Andrea Hirata pernah menulis Laskar Pelangi bukan karena ia dilahirkan dengan bakat ajaib, tapi karena ia berlatih, membaca banyak buku, dan berani menuangkan cerita hidupnya. Bahkan JK Rowling pun menulis naskah Harry Potter di kafe kecil sambil mengasuh anaknya sambil berkali-kali ditolak penerbit seperti pada Kisah penulis yang pernah gagal.
Kita semua mungkin tidak sama levelnya saat memulai, tapi kemampuan menulis bisa diasah. Sama seperti memasak: ada yang cepat belajar, ada yang lambat, tapi semua bisa kalau mau latihan.
Cara Melawan Mitos Ini
- Mulailah menulis meski belum “merasa berbakat.”
- Ikut komunitas menulis untuk belajar teknik dari orang lain.
- Baca ulang tulisan lama, lalu perhatikan bagaimana kamu berkembang.
Kalau kamu merasa tak berbakat, ingat: tak ada penulis lahir dengan novel best seller di tangannya. Semua dimulai dari halaman kosong pertama.
Harus Punya Bahasa Indah dan Rumit
Ada yang minder karena tulisannya sederhana. Mereka berpikir: “Kalau bukan kalimat puitis atau kata-kata canggih, pembaca tidak akan tertarik.”
Faktanya: pembaca justru lebih suka tulisan yang jelas dan jujur. Ernest Hemingway terkenal dengan gaya tulisannya yang ringkas, sederhana, tapi kuat. Ia tidak sibuk memakai kata-kata rumit, melainkan fokus bercerita dengan jelas.
Kalau setiap kalimatmu dipenuhi kata-kata indah tapi sulit dipahami, pembaca bisa cepat lelah. Yang mereka cari bukan sekadar kata-kata, melainkan cerita dan perasaan.
Cara Melawan Mitos Ini
- Utamakan kejelasan ketimbang keindahan.
- Tulis seolah-olah kamu sedang ngobrol dengan pembaca.
- Edit setelah selesai menulis—keindahan bisa datang belakangan.
Jadi, jangan tunggu jadi “penyair rumit” dulu baru menulis. Justru semakin sederhana tulisanmu, semakin mudah pesanmu sampai.
Kalau Tulisan Bagus, Penerbit Pasti Mau
Banyak yang berpikir: “Kalau karyaku sudah benar-benar bagus, pasti akan diterbitkan.” Lalu, setelah sekali ditolak, mereka langsung patah semangat.
Faktanya: kualitas tulisan memang penting, tapi bukan satu-satunya pertimbangan. Penerbit juga melihat apakah tema yang kamu angkat sesuai tren pasar, apakah target pembacanya jelas, dan apakah bukumu bisa dipasarkan.
JK Rowling ditolak oleh 12 penerbit sebelum akhirnya Harry Potter diterima. Bahkan buku Chicken Soup for the Soul ditolak lebih dari 100 kali sebelum akhirnya sukses besar.
Cara Melawan Mitos Ini
- Jangan menyerah kalau ditolak, itu bagian dari perjalanan.
- Pertimbangkan juga jalur self-publishing atau platform digital.
- Fokus pada pembaca, bukan hanya penerbit.
Kalau kamu yakin dengan tulisanmu, teruskan. Dunia penerbitan memang ketat, tapi bukan satu-satunya jalan menuju pembaca.
Menulis Itu Tidak Bisa Menghasilkan Uang
Ada yang berkata: “Menulis sih seru, tapi nggak bisa jadi kerjaan. Kalau mau hidup, ya kerja di kantor.”
Faktanya: banyak penulis yang hidup dari tulisan. Tidak hanya dari novel, tapi juga dari artikel, konten digital, blog, copywriting, hingga skenario film. Dunia digital malah membuka lebih banyak peluang daripada sebelumnya.
Contohnya, Raditya Dika memulai dari blog pribadi, lalu berkembang jadi buku, film, dan konten digital. Penulis konten (content writer) sekarang juga banyak dicari perusahaan.
Cara Melawan Mitos Ini
- Jangan terpaku hanya pada “novel.” Eksplorasi bidang tulisan lain.
- Bangun portofolio tulisan online.
- Gabungkan menulis dengan keterampilan lain (misalnya, marketing atau desain).
Memang tidak instan, tapi jelas mungkin untuk hidup dari menulis. Menulis bisa jadi karier, bukan sekadar hobi.
Penulis Itu Harus Menyendiri
Kebanyakan orang membayangkan penulis duduk sendirian di ruangan gelap, hanya ditemani kopi. Seolah-olah menulis adalah pekerjaan soliter yang menuntut isolasi.
Faktanya: meski menulis memang aktivitas individu, perjalanan kepenulisan sering lebih ringan kalau dijalani bersama. Komunitas penulis bisa jadi tempat belajar, tempat mencari masukan, bahkan tempat menemukan peluang kolaborasi.
Banyak penulis besar juga punya lingkaran pertemanan yang mendukung mereka. Tolkien dan C.S. Lewis misalnya, tergabung dalam kelompok Inklings di Oxford, tempat mereka berdiskusi dan saling memberi masukan.
Cara Melawan Mitos Ini
- Cari atau bentuk komunitas menulis, offline maupun online.
- Ikut tantangan menulis bersama (misalnya #30HariMenulis).
- Jadikan teman sesama penulis sebagai partner untuk saling mengingatkan.
Menulis memang butuh waktu sendirian, tapi dukungan dari orang lain bisa jadi bahan bakar semangat.
Saatnya Lepas dari Mitos
Kalau ditarik benang merahnya, hampir semua mitos kepenulisan berakar dari rasa takut. Takut gagal, takut ditolak, takut tulisan jelek. Mitos itu memberi alasan untuk berhenti sebelum mencoba.
Padahal, menulis tidak menuntut kesempurnaan sejak awal. Ia hanya menuntut keberanian memulai. Satu paragraf yang kamu tulis hari ini lebih berharga daripada seribu ide yang hanya tersimpan di kepala.
Jadi, berhenti percaya pada mitos. Mulailah dengan langkah kecil: satu halaman sehari, satu cerita pendek, atau bahkan catatan harian. Dari sana, perjalananmu sebagai penulis akan mulai terbentuk.
Ingatlah: semua penulis besar pernah jadi pemula yang ragu. Bedanya, mereka memilih untuk tetap menulis.

Komentar
Posting Komentar